Senin, 19 Desember 2016

KONSEP KEKUASAAN PETER M. BLAU DAN GEORGE C. HOMANS



KONSEP KEKUASAAN PETER M. BLAU DAN GEORGE C. HOMANS

George C. Homans dan Peter M. Blau merupakan seorang pemikir yang memberikan sumbangan pemikiran sosiologis yang paling terkenal pada teori pertukaran sosial. Walaupun Blau terlihat menerima banyak psikologi-perilaku dari Homans sebagai dasar karyanya, tapi dari pengamatan yang mendalam bahwa perbedaan antara mereka jauh lebih besar daripada kesamaan yang terlihat di permukaan. Blau juga berusaha mengembangkan sebuah teori yang menggabungkan tingkah laku sosial dasar manusia dengan struktur masyarakat yang lebih luas, yakni antara kelompok, organisasi atau Negara.
Konsep Blau mengenai pertukaran sosial terbatas kepada tingkah laku yang menghasilkan ganjaran atau imbalan, yang artinya tingkah laku akan berhenti bila pelaku tersebut berasumsi bahwa dia tidak akan mendapat imbalan lagi. Blau menyatakan bahwa terjadi tarik menarik yang mendasar antara pelaku-pelaku sosial tersebut yang menyebabkan terjadinya teori pertukaran sosial, dan dia menggunakan paradigma yang terdapat dalam karya Homans untuk menjelaskan mengenai ketimpangan kekuasaan. Ketimpangan kekuasaan terjadi karena ketidakseimbangan ganjaran yang diberikan antara pihak satu dengan pihak lain. Blau mengatakan bahwa ‘sementara yang lain dapat diganjar dengan cara yang memadai melalui pengungkapan kepuasan telah menolongnya, maka pihak yang ditolong itu tidak harus memaksa dirinya dan menghabiskan waktunya untuk membahas pertolongan dari penolongnya’.[1]
Menurut Blau, banyak orang tertarik pada satu sama lain karena banyak alasan yang memungkinkan mereka membangun sebuah asosiasi sosial atau sebuah organisasi sosial. Begitu ikatan awal sudah terbentuk maka ganjaran yang mereka berikan kepada sesamanya dapat berfungsi untuk mempertahankan dan menguatkan ikatan itu. Namun dibalik itu, ganjaran yang tidak seimbang juga dapat memperlemah atau bahkan menghancurkan asosiasi itu sendiri yang akan melahirkan sebuah eksploitasi kekuasaan. Ganjaran yang dimaksud dalam ini pertama adalah ganjaran yang bersifat Intrinsik, seperti cinta, kasih sayang, afeksi, dan lain-lain. Ganjaran yang kedua adalah ganjaran yang bersifat ekstrinsik, seperti uang, barang, dan bahan material lainnya, karena setiap kelompok tidak dapat memberikan ganjaran secara seimbang, maka disitulah ketimpangan kekuasaan terjadi.
Blau menekankan tentang adanya perbedaan yang mendasar antara jenis dua bentuk pertukaran, yakni dunia mikro dan dunia makro yang kemudian digarisbawahi tentang ketidakseimbangan kekuasaan yang menyebakan terjadinya pembagian tugas. Misal, pihak pertama membutuhkan jasa pihak kedua, dan pihak kedua tidak mem-berikan bantuan sebagaimana mestinya maka pihak pertama akan memiliki tiga alter-natif pilihan, antara lain pihak pertama akan menekan pihak kedua untuk memberikan bantuannya, lalu pihak pertama akan mencari bantuan agar mendapatkan bantuan dari pihak yang lain, dan pihak pertama akan berusaha semaksimal mungkin dengan ber-bagai cara walau tanpa bantuan dari pihak manapun. Namun, bila semua pilihan itu tidak juga berhasil, maka pihak pertama hanya memiliki satu pilihan terakhir, yaitu menyerahkan diri kepada pihak yang mampu memberikan bantuan kepada pihak pertama tersebut yang akhirnya dapat menimbulkan sebuah perbedaan antara pihak-pihak yang memberi bantuan dengan pihak-pihak yang diberikan bantuan dengan persentase kekuasaan terbesar ada pada pihak yang memberi bantuan.
Dalam masyarakat luas, ketiadaan interaksi secara langsung antara anggota-anggota asosiasi menyebabkan harus dibuatnya sebuah sarana atau mekanisme yang menengahi atau mengantarai interaksi mereka. Menurut Blau, sarana atau meka-nisme yang tepat adalah norma–norma dan nilai–nilai yang ada dalam kehidupan masyarakat itu sendiri.[2] Norma dalam hal ini digunakan sebagai alat tukar yang menggantikan pertukaran secara tidak langsung menjadi pertukaran yang langsung, seperti yang dilakukan oleh seseorang dalam masyarakat, dia harus melakukan konformitas[3] agar ia mendapat pengakuan dari masyarakat. Bila norma digunakan sebagai sarana pertukaran antara individu dengan masyarakat, maka nilai digunakan sebagai alat pertukaran antara kelompok dengan kelompok, dalam contoh negative sepert halnya suporter sepak bola, bila di kandang lawan mereka mendapat respon yang buruk maka hal itu juga akan terjadi saat suporter lawan bertandang ke markas mereka.
Blau mendefinisikan 4 tipe dasar nilai, yaitu nilai yang bersifat khusus sebagai media untuk berintegrasi dan solidaritas, dan berfungsi menyatukan kelompok ke dalam, kedua yaitu nilai yang bersifat universal, dan berstandard umum untuk terjadinya pertukaran secara tidak langsung dan memunculkan adanya imbalan yang seimbang, ketiga yaitu nilai yang melegitimasi otoritas yang berfungsi sebagai alat control sosial, dan nilai yang bersifat oposisi yang menginginkan sebuah kemajuan yang lebih efektif dengan cara kontak pribadi atau dengan orang-orang untuk melawan kemapanan yang sudah ada.
Pada intinya, konsep yang diungkapkan Blau membawa kita jauh dari teori pertukaran Homans yang menitikberatkan hubungan tingkah laku individu. Blau menggunakan istilah masyarakat, kelompok, norma-norma, dan nilai-nilai untuk menjelaskan masalah apa yang dapat membagi dan mempersatukan masyarakat dengan bertolak pada keprihatinan yang ada dalam paradigma fakta sosial yang telah dibahas dalam teori fungsionalisme struktural.


Daftar Pustaka
Zeitlin, Irving. 1995. Memahami Kembali Sosiologi. Yogyakarta : UGM Press
Raho, Bernard. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta : Prestasi Pustaka
footnote :
[1] Irving M. Zeitlin, Memahami Kembali Sosiologi, Yogyakarta : UGM Press, 1995, hlm 121.
[2] Bernard Raho, Teori Sosiologi Modern, Jakarta : Prestasi Pustaka, 2007, hlm 180.
[3] Konformitas adalah kesesuaian atau adaptasi yang berbentuk penyesuaian diri terhadap norma dan nilai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar