KONSEP KEKUASAAN PETER M. BLAU DAN GEORGE C. HOMANS
George C. Homans dan Peter M. Blau merupakan seorang pemikir yang
memberikan sumbangan pemikiran sosiologis yang paling terkenal pada teori pertukaran
sosial. Walaupun Blau terlihat menerima banyak psikologi-perilaku dari Homans
sebagai dasar karyanya, tapi dari pengamatan yang mendalam bahwa perbedaan
antara mereka jauh lebih besar daripada kesamaan yang terlihat di permukaan.
Blau juga berusaha mengembangkan sebuah teori yang menggabungkan tingkah laku
sosial dasar manusia dengan struktur masyarakat yang lebih luas, yakni antara
kelompok, organisasi atau Negara.
Konsep Blau mengenai pertukaran sosial terbatas kepada tingkah laku yang
menghasilkan ganjaran atau imbalan, yang artinya tingkah laku akan berhenti
bila pelaku tersebut berasumsi bahwa dia tidak akan mendapat imbalan lagi. Blau
menyatakan bahwa terjadi tarik menarik yang mendasar antara pelaku-pelaku
sosial tersebut yang menyebabkan terjadinya teori pertukaran sosial, dan dia
menggunakan paradigma yang terdapat dalam karya Homans untuk menjelaskan
mengenai ketimpangan kekuasaan. Ketimpangan kekuasaan terjadi karena
ketidakseimbangan ganjaran yang diberikan antara pihak satu dengan pihak lain.
Blau mengatakan bahwa ‘sementara yang lain dapat diganjar dengan cara yang
memadai melalui pengungkapan kepuasan telah menolongnya, maka pihak yang
ditolong itu tidak harus memaksa dirinya dan menghabiskan waktunya untuk
membahas pertolongan dari penolongnya’.[1]
Menurut Blau, banyak orang tertarik pada satu sama lain karena banyak
alasan yang memungkinkan mereka membangun sebuah asosiasi sosial atau sebuah
organisasi sosial. Begitu ikatan awal sudah terbentuk maka ganjaran yang mereka
berikan kepada sesamanya dapat berfungsi untuk mempertahankan dan menguatkan
ikatan itu. Namun dibalik itu, ganjaran yang tidak seimbang juga dapat
memperlemah atau bahkan menghancurkan asosiasi itu sendiri yang akan melahirkan
sebuah eksploitasi kekuasaan. Ganjaran yang dimaksud dalam ini pertama adalah
ganjaran yang bersifat Intrinsik, seperti cinta, kasih sayang, afeksi, dan
lain-lain. Ganjaran yang kedua adalah ganjaran yang bersifat ekstrinsik,
seperti uang, barang, dan bahan material lainnya, karena setiap kelompok tidak
dapat memberikan ganjaran secara seimbang, maka disitulah ketimpangan kekuasaan
terjadi.
Blau menekankan tentang adanya perbedaan yang mendasar antara jenis dua
bentuk pertukaran, yakni dunia mikro dan
dunia makro yang kemudian digarisbawahi tentang ketidakseimbangan kekuasaan
yang menyebakan terjadinya pembagian tugas. Misal, pihak pertama membutuhkan
jasa pihak kedua, dan pihak kedua tidak mem-berikan bantuan sebagaimana
mestinya maka pihak pertama akan memiliki tiga alter-natif pilihan, antara lain
pihak pertama akan menekan pihak kedua untuk memberikan bantuannya, lalu pihak
pertama akan mencari bantuan agar mendapatkan bantuan dari pihak yang lain, dan
pihak pertama akan berusaha semaksimal mungkin dengan ber-bagai cara walau
tanpa bantuan dari pihak manapun. Namun, bila semua pilihan itu tidak juga
berhasil, maka pihak pertama hanya memiliki satu pilihan terakhir, yaitu menyerahkan
diri kepada pihak yang mampu memberikan bantuan kepada pihak pertama tersebut
yang akhirnya dapat menimbulkan sebuah perbedaan antara pihak-pihak yang
memberi bantuan dengan pihak-pihak yang diberikan bantuan dengan persentase
kekuasaan terbesar ada pada pihak yang memberi bantuan.
Dalam masyarakat luas, ketiadaan interaksi secara langsung antara
anggota-anggota asosiasi menyebabkan harus dibuatnya sebuah sarana atau
mekanisme yang menengahi atau mengantarai interaksi mereka. Menurut Blau,
sarana atau meka-nisme yang tepat adalah norma–norma dan nilai–nilai yang ada
dalam kehidupan masyarakat itu sendiri.[2]
Norma dalam hal ini digunakan sebagai alat tukar yang menggantikan pertukaran
secara tidak langsung menjadi pertukaran yang langsung, seperti yang dilakukan
oleh seseorang dalam masyarakat, dia harus melakukan konformitas[3]
agar ia mendapat pengakuan dari masyarakat. Bila norma digunakan sebagai sarana
pertukaran antara individu dengan masyarakat, maka nilai digunakan sebagai alat
pertukaran antara kelompok dengan kelompok, dalam contoh negative sepert halnya
suporter sepak bola, bila di kandang lawan mereka mendapat respon yang buruk
maka hal itu juga akan terjadi saat suporter lawan bertandang ke markas mereka.
Blau mendefinisikan 4 tipe dasar nilai, yaitu nilai yang bersifat khusus
sebagai media untuk berintegrasi dan solidaritas, dan berfungsi menyatukan
kelompok ke dalam, kedua yaitu nilai yang bersifat universal, dan berstandard
umum untuk terjadinya pertukaran secara tidak langsung dan memunculkan adanya
imbalan yang seimbang, ketiga yaitu nilai yang melegitimasi otoritas yang
berfungsi sebagai alat control sosial, dan nilai yang bersifat oposisi yang
menginginkan sebuah kemajuan yang lebih efektif dengan cara kontak pribadi atau
dengan orang-orang untuk melawan kemapanan yang sudah ada.
Pada intinya, konsep yang diungkapkan Blau membawa kita jauh dari teori
pertukaran Homans yang menitikberatkan hubungan tingkah laku individu. Blau
menggunakan istilah masyarakat, kelompok, norma-norma, dan nilai-nilai untuk
menjelaskan masalah apa yang dapat membagi dan mempersatukan masyarakat dengan
bertolak pada keprihatinan yang ada dalam paradigma fakta sosial yang telah
dibahas dalam teori fungsionalisme struktural.
Daftar
Pustaka
Zeitlin,
Irving. 1995. Memahami Kembali Sosiologi. Yogyakarta : UGM Press
Raho,
Bernard. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta : Prestasi Pustaka
footnote :
[3] Konformitas
adalah kesesuaian atau adaptasi yang berbentuk penyesuaian diri terhadap norma
dan nilai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar