Senin, 26 Desember 2016

Memahami Hakikat Agama

Oleh  H. Asmuni Syukir

Agama dalam kehidupan manusia tidak berada dalam ruang hampa. Ia tidak sekadar mengisi kekosongan atau memenuhi kebutuhan batin, tetapi ia memberi corak kehidupan, baik di masa sekarang maupun akan datang. Ia bahkan menjadi acuan sekaligus penentu dalam pencarian makna hidup yang hakiki.
Sebaliknya, jika agama masih berada dalam ruang hampa, dalam arti belum membuahkan keteguhan hati dan ketenangan batin bagi pemeluknya, berarti ada ketimpangan antara agama dan keberagamaannya. Bisa jadi ia beragama sekadar formalitas (kepemelukan pasif), atau bisa jadi kepemelukan aktif tetapi belum menemukan makna agama yang hakiki, sehingga ia terperangkap pada keberagamaan yang semu, melelahkan, dan tak bermakna. Maka tidak heran jika ia tidak berhasil memperoleh ketenangan yang sejati, dan tidak pula menemukan makna hidup yang hakiki.
Untuk itulah memahami hakikat agama sangatlah penting, sebab pandangan seseorang terhadap agama banyak ditentukan oleh pemahamannya terhadap agama itu sendiri. Banyak sekali orang yang mempelajari agama hanya memperoleh sisi kognitif (pengetahuan)-nya saja tanpa memperoleh keluasan pemahaman, apalagi menemukan makna agama yang hakiki. Indikasinya terletak ada tidaknya perubahan positif dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam keberagamaannya itu.
Perlu digarisbawahi bahwa tujuan mempelajari agama itu adalah untuk memahami ajaran agama sedalam-dalamnya. Istilah ”memahami” di sini memiliki makna yang luas, tidak terbatas pada pemahaman teks-teks agama ansich, tetapi bisa meliputi pemahaman makna agamis, filosofis, psikologis dan sosiologis serta pengaruhnya terhadap kehidupan individu dan masyarakat, yang pada gilirannya dapat menemukan hakikat agama dan keberagamaan.
Pada umumnya agama yang dianut oleh umat beragama dari masa ke masa masih tetap cenderung mewarisi (mengikuti) agama yang dianut oleh orang tua mereka. Demikian juga dalam agama Islam (Qs. al-Baqarah, 2:132-133). Hal ini menurut Thabathabai, agama dalam konteks al Qur’an adalah kebiasaan sosial yang lazim dalam masyarakat. Yaitu tradisi sosial dan adat istiadat yang baik, benar dan natural sesuai dengan ajaran Islam, bukan yang menyimpang dari jalan Allah.Dalam pengertian ini agama dipahami sebagai asal-usul tradisi, yaitu sebagai sesuatu yang berasal dari langit dan melalui wahyu, melahirkan prinsip-prinsip tertentu, yang aplikasinya bisa dianggap sebagai atau berupa tradisi. Namun perlu diingat, bahwa tradisi itu berkembang dalam lingkup ortodoksi. Karena itu tak berlebihan jika dikatakan bahwa tidak mungkin tradisi tanpa ortodoksi, dan sebaliknya ortodoksi tanpa tradisi. Hal ini karena ortodoksi bukanlah proses yang membawa tradisi, tetapi ortodoksi juga merupakan kebenaran yang berada dalam tradisi itu sendiri.
Dalam konteks tradisi dan ortodoksi itulah, barangkali ada benarnya pendapat yang mengatakan bahwa agama itu warisan turun temurun. Dan karena itulah orang tua yang mengharapkan anak-anaknya kelak menjadi orang-orang yang baik, merasa perlu membekali tuntunan hidup mulai dini, baik melalui pendidikan agama di lingkungan keluarga maupun di sekolah.
Kemudian pada tataran yang lebih tinggi, pendidikan agama diarahkan pada pemahaman sebuah definisi, bahwa agama adalah ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul. Dari definisi ini kemudian diperkenalkan teks-teks kitab suci yang dipahami sebagai pernyataan, misalnya, “hanya agama Islam yang benar”, antara lain: ”Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (Muhammad Saw.) (dengan membawa) petunjuk (al Qur’an) dan agama yang benar (Islam) untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun kaum musyrikin tidak menyukai.” (Qs. at Taubah, 10:33).
Terlepas apakah ini ada atau tidak ada pertentangan dengan paham pluralisme agama, biasanya melalui teks-teks kitab suci (ayat-ayat al Qur’an) ini, keyakinan terhadap agamanya semakin kuat, rasa terikat dengan ajaran agamanya pun kian tumbuh dan berakar kuat. Sebab, bila tradisi tersebut secara etimologi dan konseptual dihubungkan dengan masalah transmisi, maka agama disebut dengan religi (dari bahasa Latin, religare), yang juga memiliki makna yang hampir sama, yakni ”mengikat”. Artinya, bahwa agama adalah pengikat antara manusia dengan Tuhan dan antara manusia dengan manusia dalam sebuah komunitas sakral yang disebut ummah (umat).
Secara harfiah memang kata agama bisa diterjemahkan dalam berbagai makna, antara lain ganjaran, siksa, kebiasaan, ketundukan, kerendahan hati dan kepatuhan. Al Qur’an juga memiliki ayat-ayat yang menunjukkan kata agama (al dîn) bisa berarti pahala, hukum, ketaatan, penghambaan, kecenderungan, dan tunduk sepenuhnya kepada kebenaran. Seperti dalam Tafsir al Mizân, Allamah Thabathabai mengatakan bahwa makna agama dalam ayat 29 surat at Taubah, adalah ketaatan. Yang berarti, bahwa orang-orang yang dimaksud dalam ayat ini tidak mematuhi dan tidak pula mengikuti kebenaran, atau mereka menganggapnya tidak menjadi agama yang benar.
Abudullah Jawadi Amuli, teolog Islam, berpendapat bahwa agama adalah kumpulan keyakinan dan kepercayaan, hukum dan etika, yang bertujuan untuk menyempurnakan dan mengatur masyarakat manusia. Tetapi, kumpulan keyakinan itu terkadang batil, terkadang benar, dan terkadang gabungan benar dan batil. Jika kumpulan itu benar, maka disebut agama yang benar, dan bila batil disebut pula agama batil. Agama yang benar adalah keyakinan, aqidah dan undang-undangnya bersumber dari Tuhan, sementara agama batil berasal dari selain Tuhan.
Pendapat lain, setelah mengkaji berbagai makna kata agama, termasuk ensiklopedi Islam, teolog Barat, John Nas, dalam Târikh Jame’ Adyân, mengatakan bahwa agama adalah suatu ketetapan Allah untuk membimbing manusia menuju keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Ia juga mengutip dari Jorjani, bahwa agama adalah hukum dan undang-undang Ilahi yang mengajak orang-orang berakal menerima dan mengikuti seruan Nabi-Nya (Muhammad Saw.).
Beberapa pengertian agama di atas, bila dianalisis berintikan tiga paham, yaitu paham kewajiban, paham kepatuhan, dan paham balasan. Dan karena itu, paham kewajiban dan kepatuhan ini biasanya ditanamkan sejak dini oleh orang tua dan guru dengan cara pembiasaan (skills) yang dibumbui dengan motivasi paham balasan. Bahkan di majlis-majlis taklim pun kebanyakan materi pengajiannya juga seputar ketiga paham itu, sehingga tidak heran kalau paham ini melekat di benak umat.
Menurut penulis, paham ini tidak salah, bahkan sangat penting. Tetapi ada kelemahannya, yaitu membuat kepatuhan terhadap agama hanya karena rasa takut akan siksa (neraka)-Nya dan berharap balasan (surga)-Nya. Kalau demikian, seakan-akan kepatuhan manusia itu dibutuhkan oleh Tuhan, sehingga Tuhan seakan-akan perlu ’promosi’ melalui agama-Nya. Bagaimana jika Tuhan tidak menciptakan surga dan neraka sebagai balasan, apakah manusia tetap patuh terhadap agama?
Pandangan ini tentu akan berbeda jika konsepsi agama, seperti yang dikatakan oleh Syahid Murtadha Muthahhari, bahwa agama adalah kepasrahan dan ketaatan kepada Tuhan. Konsepsi inilah, menurut Nurcholis Madjid, yang lebih tepat dengan makna generik Islam. Karena perkataan itu (Islam) sebagai kata benda verbal yang aktif, mengandung pengertian sikap pada sesuatu, dalam hal ini sikap pasrah atau menyerahkan diri kepada Tuhan. Dan sikap itulah yang disebut sebagai sikap keagamaan yang benar dan diterima Tuhan: ”Sesungguhnya agama bagi Allah ialah sikap pasrah kepada-Nya (al Islam)” (Qs. Ali Imran, 3:19).
Untuk itulah dalam memahami agama perlu berpikir kritis dan analitis, dipahami secara kontekstual dan tidak hanya secara tekstual dalam rangka menemukan hakikat agama, sehingga tidak keliru dalam interpretasi dan implementasinya. **Wallahu a’lam bish-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar