Oleh H. Asmuni Syukir
Agama dalam kehidupan manusia tidak
berada dalam ruang hampa. Ia tidak sekadar mengisi kekosongan atau
memenuhi kebutuhan batin, tetapi ia memberi corak kehidupan, baik di
masa sekarang maupun akan datang. Ia bahkan menjadi acuan sekaligus
penentu dalam pencarian makna hidup yang hakiki.
Sebaliknya, jika agama masih berada dalam
ruang hampa, dalam arti belum membuahkan keteguhan hati dan ketenangan
batin bagi pemeluknya, berarti ada ketimpangan antara agama dan
keberagamaannya. Bisa jadi ia beragama sekadar formalitas (kepemelukan
pasif), atau bisa jadi kepemelukan aktif tetapi belum menemukan makna
agama yang hakiki, sehingga ia terperangkap pada keberagamaan yang semu,
melelahkan, dan tak bermakna. Maka tidak heran jika ia tidak berhasil
memperoleh ketenangan yang sejati, dan tidak pula menemukan makna hidup
yang hakiki.
Untuk itulah memahami hakikat agama
sangatlah penting, sebab pandangan seseorang terhadap agama banyak
ditentukan oleh pemahamannya terhadap agama itu sendiri. Banyak sekali
orang yang mempelajari agama hanya memperoleh sisi kognitif
(pengetahuan)-nya saja tanpa memperoleh keluasan pemahaman, apalagi
menemukan makna agama yang hakiki. Indikasinya terletak ada tidaknya
perubahan positif dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam
keberagamaannya itu.
Perlu digarisbawahi bahwa tujuan
mempelajari agama itu adalah untuk memahami ajaran agama
sedalam-dalamnya. Istilah ”memahami” di sini memiliki makna yang luas,
tidak terbatas pada pemahaman teks-teks agama ansich, tetapi bisa
meliputi pemahaman makna agamis, filosofis, psikologis dan sosiologis
serta pengaruhnya terhadap kehidupan individu dan masyarakat, yang pada
gilirannya dapat menemukan hakikat agama dan keberagamaan.
Pada umumnya agama yang dianut oleh umat
beragama dari masa ke masa masih tetap cenderung mewarisi (mengikuti)
agama yang dianut oleh orang tua mereka. Demikian juga dalam agama Islam
(Qs. al-Baqarah, 2:132-133). Hal ini menurut Thabathabai, agama dalam
konteks al Qur’an adalah kebiasaan sosial yang lazim dalam masyarakat.
Yaitu tradisi sosial dan adat istiadat yang baik, benar dan natural
sesuai dengan ajaran Islam, bukan yang menyimpang dari jalan Allah.Dalam
pengertian ini agama dipahami sebagai asal-usul tradisi, yaitu sebagai
sesuatu yang berasal dari langit dan melalui wahyu, melahirkan
prinsip-prinsip tertentu, yang aplikasinya bisa dianggap sebagai atau
berupa tradisi. Namun perlu diingat, bahwa tradisi itu berkembang dalam
lingkup ortodoksi. Karena itu tak berlebihan jika dikatakan bahwa tidak
mungkin tradisi tanpa ortodoksi, dan sebaliknya ortodoksi tanpa tradisi.
Hal ini karena ortodoksi bukanlah proses yang membawa tradisi, tetapi
ortodoksi juga merupakan kebenaran yang berada dalam tradisi itu
sendiri.
Dalam konteks tradisi dan ortodoksi
itulah, barangkali ada benarnya pendapat yang mengatakan bahwa agama itu
warisan turun temurun. Dan karena itulah orang tua yang mengharapkan
anak-anaknya kelak menjadi orang-orang yang baik, merasa perlu membekali
tuntunan hidup mulai dini, baik melalui pendidikan agama di lingkungan
keluarga maupun di sekolah.
Kemudian pada tataran yang lebih tinggi,
pendidikan agama diarahkan pada pemahaman sebuah definisi, bahwa agama
adalah ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang
Rasul. Dari definisi ini kemudian diperkenalkan teks-teks kitab suci
yang dipahami sebagai pernyataan, misalnya, “hanya agama Islam yang
benar”, antara lain: ”Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (Muhammad
Saw.) (dengan membawa) petunjuk (al Qur’an) dan agama yang benar (Islam)
untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun kaum musyrikin tidak
menyukai.” (Qs. at Taubah, 10:33).
Terlepas apakah ini ada atau tidak ada
pertentangan dengan paham pluralisme agama, biasanya melalui teks-teks
kitab suci (ayat-ayat al Qur’an) ini, keyakinan terhadap agamanya
semakin kuat, rasa terikat dengan ajaran agamanya pun kian tumbuh dan
berakar kuat. Sebab, bila tradisi tersebut secara etimologi dan
konseptual dihubungkan dengan masalah transmisi, maka agama disebut
dengan religi (dari bahasa Latin, religare), yang juga memiliki makna
yang hampir sama, yakni ”mengikat”. Artinya, bahwa agama adalah pengikat
antara manusia dengan Tuhan dan antara manusia dengan manusia dalam
sebuah komunitas sakral yang disebut ummah (umat).
Secara harfiah memang kata agama bisa
diterjemahkan dalam berbagai makna, antara lain ganjaran, siksa,
kebiasaan, ketundukan, kerendahan hati dan kepatuhan. Al Qur’an juga
memiliki ayat-ayat yang menunjukkan kata agama (al dîn) bisa berarti
pahala, hukum, ketaatan, penghambaan, kecenderungan, dan tunduk
sepenuhnya kepada kebenaran. Seperti dalam Tafsir al Mizân, Allamah
Thabathabai mengatakan bahwa makna agama dalam ayat 29 surat at Taubah,
adalah ketaatan. Yang berarti, bahwa orang-orang yang dimaksud dalam
ayat ini tidak mematuhi dan tidak pula mengikuti kebenaran, atau mereka
menganggapnya tidak menjadi agama yang benar.
Abudullah Jawadi Amuli, teolog Islam,
berpendapat bahwa agama adalah kumpulan keyakinan dan kepercayaan, hukum
dan etika, yang bertujuan untuk menyempurnakan dan mengatur masyarakat
manusia. Tetapi, kumpulan keyakinan itu terkadang batil, terkadang
benar, dan terkadang gabungan benar dan batil. Jika kumpulan itu benar,
maka disebut agama yang benar, dan bila batil disebut pula agama batil.
Agama yang benar adalah keyakinan, aqidah dan undang-undangnya bersumber
dari Tuhan, sementara agama batil berasal dari selain Tuhan.
Pendapat lain, setelah mengkaji berbagai
makna kata agama, termasuk ensiklopedi Islam, teolog Barat, John Nas,
dalam Târikh Jame’ Adyân, mengatakan bahwa agama adalah suatu ketetapan
Allah untuk membimbing manusia menuju keselamatan dan kebahagiaan di
dunia dan akhirat. Ia juga mengutip dari Jorjani, bahwa agama adalah
hukum dan undang-undang Ilahi yang mengajak orang-orang berakal menerima
dan mengikuti seruan Nabi-Nya (Muhammad Saw.).
Beberapa pengertian agama di atas, bila
dianalisis berintikan tiga paham, yaitu paham kewajiban, paham
kepatuhan, dan paham balasan. Dan karena itu, paham kewajiban dan
kepatuhan ini biasanya ditanamkan sejak dini oleh orang tua dan guru
dengan cara pembiasaan (skills) yang dibumbui dengan motivasi paham
balasan. Bahkan di majlis-majlis taklim pun kebanyakan materi
pengajiannya juga seputar ketiga paham itu, sehingga tidak heran kalau
paham ini melekat di benak umat.
Menurut penulis, paham ini tidak salah,
bahkan sangat penting. Tetapi ada kelemahannya, yaitu membuat kepatuhan
terhadap agama hanya karena rasa takut akan siksa (neraka)-Nya dan
berharap balasan (surga)-Nya. Kalau demikian, seakan-akan kepatuhan
manusia itu dibutuhkan oleh Tuhan, sehingga Tuhan seakan-akan perlu
’promosi’ melalui agama-Nya. Bagaimana jika Tuhan tidak menciptakan
surga dan neraka sebagai balasan, apakah manusia tetap patuh terhadap
agama?
Pandangan ini tentu akan berbeda jika
konsepsi agama, seperti yang dikatakan oleh Syahid Murtadha Muthahhari,
bahwa agama adalah kepasrahan dan ketaatan kepada Tuhan. Konsepsi
inilah, menurut Nurcholis Madjid, yang lebih tepat dengan makna generik
Islam. Karena perkataan itu (Islam) sebagai kata benda verbal yang
aktif, mengandung pengertian sikap pada sesuatu, dalam hal ini sikap
pasrah atau menyerahkan diri kepada Tuhan. Dan sikap itulah yang disebut
sebagai sikap keagamaan yang benar dan diterima Tuhan: ”Sesungguhnya
agama bagi Allah ialah sikap pasrah kepada-Nya (al Islam)” (Qs. Ali
Imran, 3:19).
Untuk itulah dalam memahami agama perlu
berpikir kritis dan analitis, dipahami secara kontekstual dan tidak
hanya secara tekstual dalam rangka menemukan hakikat agama, sehingga
tidak keliru dalam interpretasi dan implementasinya. **Wallahu a’lam bish-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar