Minggu, 09 Oktober 2016

DESA YANG MENGALAMI KEMAJUAN TEKNOLoGI


Bab ini mengetengahkan suatu studi kasus tentang sebuah desa yang, menurut catatan, telah mengalami peningkatan hasil pada per hektar yang berarti selama dasawarsa yang sudah berlalu sebagai akibat perbaikan dalam sistem irigasi dan teknologi penanaman padi. Dengan membandingkan desa ini dengan kasus yang terdapat pada bab sebelumnya, kita kakan mencoba menemukan dampak kemajuan teknologi terhadap distribusi pendapatan di dalam komunitas desa tersebut.
Pemiihan Desa dan Pengumpulan Data
Kami mencoba memilih sebuah desa di antara desa-desa yang terletak dalam lingkungan kabupaten serang, yang sebelumnya sudah diliputi oleh survei IPS, sebuah desa yng termasuk monokultur pada padi tetapi yang, tidak seperti desa selatan, telah mengalami kemajuan-kemajuan besar dalam teknologi produk padi. Desa yang memenuhi persyaratan seperti itu terdapat di daerah penghasil padi sepanjang pantai laut jawa, kira-kira 20 km sebelah utara subang selatan. Desa ini selanjutnya disebut Desa Subang Utara.
Berlainan dengan desa subang selatan yang mempunyai topografi berbukit dikelilingi dengan gunung-gunung, desa subang utara terletak di atas daratan pantai yang benar-benar rata. Daerah ini telah dicakup oleh sistem irigasi jatiluhur, sistem irigasi terbesar di pulaiu jawa. Sebelum tahun 1968 ketika proyek jatiluhur diperluas. Sawah-sawah ini telah diairi oleh sistem pengairan setempat yang dinamakan sistem macan ini hanya mengairi sawah pada musim hujan dan persediaan air tidak dapat ditentukan. Semenjah proyek jatiluhur di perluas, panen padi ganda telah umum dilakukan dan varietas modern tersebar dengan cepat. Maka perubahan dinamis dalam teknologi produksi padi di subang utara sangan berlainan dengan stagnasi di desa subang selatan.
Karena tidak ada satupun di dalam keempat kampung di desa ini terdapat jumlah rumah tangga yang cukup kecil untuk memungkinkan kami malakukan survei pencacahan. Oleh karena itu kami terpaksa menggunakan survei sampel. Karena suvei pencacahan lengkap tidak diterapkan, kami tidak bisa meemperoleh informasi terperinci mengenai hubungan antar kelas alam komunitas desa. Kami mendapat kesukaran dalam memperoleh data dari tuan tanah yang terbesar, yang memiliki hampir sepertiga dari sawah yang ada di desa itu yang tentu tidak suka memberikan informasi yang sensitif seperti mengenai caranya ia memperbanyak tanahnya. Akibatnya, data struktur agraria di desa ini kurang lengkap. Sebaliknya tidak banyak perbedaan dalam kualitas data mengenai biaya dan keuntungan produksi tanah.
Pola Demografi dan Stuktur Agraris
Dibandingkan dengan desa subang selatan, dengan segala bukti yang menunjukan bahwa kepadatan penduduk sudah mencapai titik jenuh, rasio manusia-tanah di desa subang utara tidaklah begitu tinggi. Keteranga satu-satunya yang agak berarti adalah data tentang jumlah anak per ibu menurut usia ibu. Dibandingkan dengan data pada desa subang selatan. Data mengenai desa subang utara agak rendah perkiraannya.

Perbandingan tingkat pertumbuhan penduduk secara alamiah untuk tahun-tahun belakangan ini jauh lebih tinggi di desa utara dari pada desa selatan. Lagip pula, sejumlah besar migrn mengalir ke desa ini. Yang menurut penduduk desa yang awalnya jumlah rumah tangga di desa suabang utara di tahun 1940 adalah kira-kira 40, yang bertambah menjadi 191 pada waktu suvei. Tingkat pertumbukan kira-kira 4% per tahun. Tigkat pertumbuhan penduduk yang tinggi seperti itu mencerminkan suatu arus migran yang cepat memasuki desa ini. Berlainan  dengan desa subang selatan, yang telah berdiri lama di luar jangkauan ingatan para pemukim sekarang, pemukiman desa subang utara baru mulai di tahun 1920-an. Pemukiman ini terlabat karena lebih sukar untuk membangun sistem irigasi.
Para pemukim awal de desa subang utara membuka tanah tak bertuan dan melaksanakan usaha pertanian yang sangat ekstensif dalam keadaan tadah hujan. Hasil padi di desa ini mengalami kenaikan yang berarti sesusah siste macan mulai mengairi sawah desa selama musim hujan.sejalan dengan pembangunan irigasi permintaan akan tenaga kerja punmeningkat dan sejumlah besar pendatang mengalir di desa ini dan menetap sebagai penggarap bagi hasil. Proses serupa telah berulang kembali sesudah perluasan proyek jatiluhur yang memungkinkan pengairan baik di musim hujan maupun musim kemarau
Sementara itu, statifikasi berkembang di kalangan pemukim lama. Sebagian dari mereka memperoleh tanah dari yang lain melalui cara pinjam-meminjam uang. Kasus yang khas pada tuan tanah adalah melalui pinjam uang ia telah mengumpulkan lebih dari 20 hektar di desa ini dan desa lainnya. Ia menolak memberikan infomasi terperinci mengenai proses mendapatkannya.
Kasus seperti ini kami jumpai di desa subang utara tanpa tekecuali, menetapkan bunga pinjaman senilai 50% per panen berbeda dengan desa subang selatan yang sering dijumpai pinjaman tanpa adanya bunga di antara keluarga dan kawan. Lumbug rukun tetangga atau koperasi yang biasa terdapat pada desa subang selatan juga tidak terdapat pada desa subang utara. Tampak bahwa komunikasi pada desa subang utara belum cukup kuat untuk membentuk sistem tolong menolong. Karena sifat pemukimannya yang baru saja terjadi dan karena besarnya arus migran yang masuk.
Walaupun ada upaya menghemat tenaga kerja, bertambahnya permintaan akan tenaga kerja di sebabkan oleh adanya penyebaran panen ganda , telah melebihi persediaan seperti dinyatakan oleh naiknya tingkat upah nyata. Keadaan seperti di desa subang utara merupakan suatu perbedaan yang tajam dengan kasus di desa subang selatan, dimana tekanan penduduk dalam stagnasi teknologi berakibat menurunnya tingkat upah nyata yang mendorong pemakaian tenaga manusia sebagai pengganti tenaga hewan.
Konsekuensi kemajuan teknologi
Kemajuan yang berarti dalam teknologi secara luas dikatakan sebagai pergeseran fungsi produksi ke atas telah dilaksanakan di desa subang utara, sebagai akibat kemajuan dalam sistem irigasi dan digunakan varietas modern.
Perubahan-perubahan dalam sistem panen padi
Seperti di desa subang selatan bentuk tradisional panen di suabang utara menurut sistem bawon terbuka yang dapat diikiti oleh setiap orang sewaktu panen, dengan menerima bagian dari hasil. Namun berlainan dengan desa subang selatan sistem panen ini tidak mengalami perubahan ke arah partisiban terbatas. Para petani pula memperkenalkan sistem ceblokan  pada tahun 1960-an namun mereka segera kembali ke sistem bawon.
Salah satu alasan mengapa sistem dengan pengawasan yang lebih ketat tidak berkembang, tampaknya karena stuktur yang longgar dari desa ini. Suasana sosial seperti ini tidak lah berguna untuk mengembangkan cara-cara melakukan panen yang membatasi partisipasi.
Peubahan-perubahan dalam Distibusi Pendapatan
Baik di subang utara maupun subang selatan, tenaga kerja yang dipakai dalam memproduksi padi bertambah. Namun tambahan penggunaan tenaga kerja di desa subang selatan telah diikuti oleh menurunnya tingkat upah tenaga kerja dibandingkan dengan tingakat sewa hewan penarik, yang mencakup suatu subsribusi modal dengan tenaga kerja melalui fungsi produksi tertentu. Di desa suabng utara, kenaikan dalam masukan tenaga riil, yang seharusnya merupakan akibat dari pergeseran dalam fungsi poduksi
Dalam hal petani penggarap, surplus penggarap hampin berada pada angka nol dan sewa yang dibayarkan pada tuan tanah sama dengan surplus pemilik-penggarap. Hal ini menggandung arti bahwa surplus penggarap bagi petani-pemilik terutama terdiri dari kembalian kepada tanah mereka. Jadi hasil konsisten dengan hipotesa bahwa kemajuan teknologi di esa ini membias ke arah penghematan tanah dan pemakaian modal, dan kurang lebih netral dalam hal pengguaan tenaga kerja. Akibat seperti itu di desa subang utara menunjukan perbedaan yang tajam dengn kasus desa subang selatan di mana bagian faktor tanah meningkat tinggi dengan merugikan bagian untuk faktor tenaga kerja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar