DESA YANG MENGALAMI
KEMAJUAN TEKNOLGI
Bab
ini mengetengahkan suatu studi kasus tentang sebuah desa yang, menurut catatan,
telah mengalami peningkatan hasil pada per hektar yang berarti selama dasawarsa
yang sudah berlalu sebagai akibat perbaikan dalam sistem irigasi dan teknologi
penanaman padi. Dengan membandingkan desa ini dengan kasus yang terdapat pada
bab sebelumnya, kita kakan mencoba menemukan dampak kemajuan teknologi terhadap
distribusi pendapatan di dalam komunitas desa tersebut.
Pemiihan
Desa dan Pengumpulan Data
Kami
mencoba memilih sebuah desa di antara desa-desa yang terletak dalam lingkungan
kabupaten serang, yang sebelumnya sudah diliputi oleh survei IPS, sebuah desa
yng termasuk monokultur pada padi tetapi yang, tidak seperti desa selatan,
telah mengalami kemajuan-kemajuan besar dalam teknologi produk padi. Desa yang
memenuhi persyaratan seperti itu terdapat di daerah penghasil padi sepanjang
pantai laut jawa, kira-kira 20 km sebelah utara subang selatan. Desa ini
selanjutnya disebut Desa Subang Utara.
Berlainan
dengan desa subang selatan yang mempunyai topografi berbukit dikelilingi dengan
gunung-gunung, desa subang utara terletak di atas daratan pantai yang
benar-benar rata. Daerah ini telah dicakup oleh sistem irigasi jatiluhur, sistem
irigasi terbesar di pulaiu jawa. Sebelum tahun 1968 ketika proyek jatiluhur
diperluas. Sawah-sawah ini telah diairi oleh sistem pengairan setempat yang
dinamakan sistem macan ini hanya mengairi sawah pada musim hujan dan persediaan
air tidak dapat ditentukan. Semenjah proyek jatiluhur di perluas, panen padi
ganda telah umum dilakukan dan varietas modern tersebar dengan cepat. Maka
perubahan dinamis dalam teknologi produksi padi di subang utara sangan
berlainan dengan stagnasi di desa subang selatan.
Karena
tidak ada satupun di dalam keempat kampung di desa ini terdapat jumlah rumah
tangga yang cukup kecil untuk memungkinkan kami malakukan survei pencacahan.
Oleh karena itu kami terpaksa menggunakan survei sampel. Karena suvei
pencacahan lengkap tidak diterapkan, kami tidak bisa meemperoleh informasi
terperinci mengenai hubungan antar kelas alam komunitas desa. Kami mendapat
kesukaran dalam memperoleh data dari tuan tanah yang terbesar, yang memiliki
hampir sepertiga dari sawah yang ada di desa itu yang tentu tidak suka
memberikan informasi yang sensitif seperti mengenai caranya ia memperbanyak
tanahnya. Akibatnya, data struktur agraria di desa ini kurang lengkap.
Sebaliknya tidak banyak perbedaan dalam kualitas data mengenai biaya dan
keuntungan produksi tanah.
Pola
Demografi dan Stuktur Agraris
Dibandingkan
dengan desa subang selatan, dengan segala bukti yang menunjukan bahwa kepadatan
penduduk sudah mencapai titik jenuh, rasio manusia-tanah di desa subang utara
tidaklah begitu tinggi. Keteranga satu-satunya yang agak berarti adalah data
tentang jumlah anak per ibu menurut usia ibu. Dibandingkan dengan data pada
desa subang selatan. Data mengenai desa subang utara agak rendah perkiraannya.
Perbandingan
tingkat pertumbuhan penduduk secara alamiah untuk tahun-tahun belakangan ini
jauh lebih tinggi di desa utara dari pada desa selatan. Lagip pula, sejumlah
besar migrn mengalir ke desa ini. Yang menurut penduduk desa yang awalnya
jumlah rumah tangga di desa suabang utara di tahun 1940 adalah kira-kira 40, yang
bertambah menjadi 191 pada waktu suvei. Tingkat pertumbukan kira-kira 4% per
tahun. Tigkat pertumbuhan penduduk yang tinggi seperti itu mencerminkan suatu
arus migran yang cepat memasuki desa ini. Berlainan dengan desa subang selatan, yang telah
berdiri lama di luar jangkauan ingatan para pemukim sekarang, pemukiman desa
subang utara baru mulai di tahun 1920-an. Pemukiman ini terlabat karena lebih
sukar untuk membangun sistem irigasi.
Para
pemukim awal de desa subang utara membuka tanah tak bertuan dan melaksanakan
usaha pertanian yang sangat ekstensif dalam keadaan tadah hujan. Hasil padi di
desa ini mengalami kenaikan yang berarti sesusah siste macan mulai mengairi
sawah desa selama musim hujan.sejalan dengan pembangunan irigasi permintaan
akan tenaga kerja punmeningkat dan sejumlah besar pendatang mengalir di desa
ini dan menetap sebagai penggarap bagi hasil. Proses serupa telah berulang
kembali sesudah perluasan proyek jatiluhur yang memungkinkan pengairan baik di
musim hujan maupun musim kemarau
Sementara
itu, statifikasi berkembang di kalangan pemukim lama. Sebagian dari mereka
memperoleh tanah dari yang lain melalui cara pinjam-meminjam uang. Kasus yang
khas pada tuan tanah adalah melalui pinjam uang ia telah mengumpulkan lebih
dari 20 hektar di desa ini dan desa lainnya. Ia menolak memberikan infomasi
terperinci mengenai proses mendapatkannya.
Kasus
seperti ini kami jumpai di desa subang utara tanpa tekecuali, menetapkan bunga
pinjaman senilai 50% per panen berbeda dengan desa subang selatan yang sering
dijumpai pinjaman tanpa adanya bunga di antara keluarga dan kawan. Lumbug rukun
tetangga atau koperasi yang biasa terdapat pada desa subang selatan juga tidak
terdapat pada desa subang utara. Tampak bahwa komunikasi pada desa subang utara
belum cukup kuat untuk membentuk sistem tolong menolong. Karena sifat
pemukimannya yang baru saja terjadi dan karena besarnya arus migran yang masuk.
Walaupun
ada upaya menghemat tenaga kerja, bertambahnya permintaan akan tenaga kerja di
sebabkan oleh adanya penyebaran panen ganda , telah melebihi persediaan seperti
dinyatakan oleh naiknya tingkat upah nyata. Keadaan seperti di desa subang
utara merupakan suatu perbedaan yang tajam dengan kasus di desa subang selatan,
dimana tekanan penduduk dalam stagnasi teknologi berakibat menurunnya tingkat
upah nyata yang mendorong pemakaian tenaga manusia sebagai pengganti tenaga
hewan.
Konsekuensi
kemajuan teknologi
Kemajuan
yang berarti dalam teknologi secara luas dikatakan sebagai pergeseran fungsi
produksi ke atas telah dilaksanakan di desa subang utara, sebagai akibat
kemajuan dalam sistem irigasi dan digunakan varietas modern.
Perubahan-perubahan
dalam sistem panen padi
Seperti
di desa subang selatan bentuk tradisional panen di suabang utara menurut sistem
bawon terbuka yang dapat diikiti oleh setiap orang sewaktu panen, dengan
menerima bagian dari hasil. Namun berlainan dengan desa subang selatan sistem
panen ini tidak mengalami perubahan ke arah partisiban terbatas. Para petani
pula memperkenalkan sistem ceblokan pada
tahun 1960-an namun mereka segera kembali ke sistem bawon.
Salah
satu alasan mengapa sistem dengan pengawasan yang lebih ketat tidak berkembang,
tampaknya karena stuktur yang longgar dari desa ini. Suasana sosial seperti ini
tidak lah berguna untuk mengembangkan cara-cara melakukan panen yang membatasi
partisipasi.
Peubahan-perubahan
dalam Distibusi Pendapatan
Baik
di subang utara maupun subang selatan, tenaga kerja yang dipakai dalam
memproduksi padi bertambah. Namun tambahan penggunaan tenaga kerja di desa subang
selatan telah diikuti oleh menurunnya tingkat upah tenaga kerja dibandingkan
dengan tingakat sewa hewan penarik, yang mencakup suatu subsribusi modal dengan
tenaga kerja melalui fungsi produksi tertentu. Di desa suabng utara, kenaikan
dalam masukan tenaga riil, yang seharusnya merupakan akibat dari pergeseran
dalam fungsi poduksi
Dalam
hal petani penggarap, surplus penggarap hampin berada pada angka nol dan sewa
yang dibayarkan pada tuan tanah sama dengan surplus pemilik-penggarap. Hal ini
menggandung arti bahwa surplus penggarap bagi petani-pemilik terutama terdiri
dari kembalian kepada tanah mereka. Jadi hasil konsisten dengan hipotesa bahwa
kemajuan teknologi di esa ini membias ke arah penghematan tanah dan pemakaian
modal, dan kurang lebih netral dalam hal pengguaan tenaga kerja. Akibat seperti
itu di desa subang utara menunjukan perbedaan yang tajam dengn kasus desa
subang selatan di mana bagian faktor tanah meningkat tinggi dengan merugikan
bagian untuk faktor tenaga kerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar