KEBENARAN
ILMIAH
Kebenaran (Ilmiah) sebagai Masalah Filsafat
Pemikir Jerman, Immanuel Kant, menyederhanakan
pokok persoalan filsafat kedalam empat pertanyaan utama, yaitu : (1) apa yang dapat saya harapkan (What may I hope)?; (2) apa yang dapat saya ketahui (what can I know)?; (3) apa yang seyogyanya saya lakukan (what should I do)?; dan (4) apa/siapakah manusia itu (what is man)? Pertanyaan pertama
menyangkut metafisika, yang kedua epistemologi, yang ketiga etika dan estetika, dan yang keempat filsafat antropologi.
Risalah
ini berkenaan dengan pertanyaan kedua, yaitu epistemologi (episteme = pengetahuan). Secara harfiah epistemologi biasanya
diartikan sebagai “filsafat ilmu”, “filsafat pengetahuan”, “filsafat ilmu
pengetahuan”, atau lebih tepat, “filsafat tentang ilmu pengetahuan”. Didalamnya
tercakup teori tentang pengetahuan (theoris
of knowledge). Pokok persoalannya adalah masalah benar dan salah (true-not true), dan bukan baik-buruk
atau indah jelek seperti dibahas etika dan estetika, bukan pula soal tujuan
hidup seperti dikupas dalam ontologi.
Mempermasalahkan
“benar-salah” berarti mempertanyakan tiga hal : (1) apakah sumber pengetahuan
itu?; (2) apakah hakikat pengetahuan itu?; dan (3) bagaimana validitas
pengetahuan itu dan bagaimana mengujinya?
Terhadap
pertanyaan ketiga diatas, banyak aliran filsafat mengemukakan pandangan yang
berbeda-beda. Nama-nama aliran filsafat itu sangat beragam, tergantung cara
mengklasifikasikannya. Misalnya secara acak dapat disebut empirisme, rasionalisme, idealisme, materialisme, pragmatisme,
realisme, positivisme, eksistensialisme, skeptisisme, emergentisme, dan
banyak lagi yang masing-masing saling bersinggunngan. Beragam aliran filsafat
(ilmu/pengetahuan) menunjukkan bahwa cara para pemikir dalam memahami sumber,
hakikat, dan kesahihan pengetahuan tergantung pada aliran yang digunakannya.
Sampai
disini, istilah “pengetahuan” (knowledge)
digunakan, dan buku “ilmu” (science). Sebenarnya sulit untuk mencari padanan
kata yang tepat dalam bahasa inggris untuk kata “ilmu”, tanpa memiliki konotasi
yang khusus. Science misalnya kerap
kali rancu pengertiannya dalam bahasa Indonesia karena konotasinya seringkali
hanya menunjuk pada natural science
termasuk juga social science. Namun
untuk praktisnya, ‘ilmu’ disini mengacu pada pengertian science.
“Ilmu”
dan “pengetahuan” sesungguhnya memiliki arti yang agak berbeda. Secara singkat
dapat dikatakan bahwa ilmu dan
pengetahuan yang telah memiliki sistematika tertentu, atau pengetahuan yang
memiliki ciri-ciri khas. Karena itu, ilmu adalah spesies dari genus yang
disebut pengetahuan. Bila definisi ini diterima (karena ada definisi lain yang
berbeda dengan definisi ini, misalnya dari Aristoteles dan Peurseun), maka semua ilmu pastilah terdiri dari ataus pengetahuan-pengetahuan, tetapi
tidak semua pengetauan adalah ilmu.
Ilmu memiliki ciri-ciri dan stadar-standar tertentu
sebagai hasil konsesnsus para ilmuan. Ada
semacam “criteria of demarcation” (meminjam
istilah Karl Popper) antara pengetahuan yang (telah) berstatus ilmu pengetahuan
dengan pengetahuan yang semata-mata hanya pengetahuan seperti akal sehat (common sense). Contoh-contoh pengetahuan
yang didasarkan pada akal sehat misalnya dikemukakan oleh Goldstein &
Goldstein (1980) dalam bukunya, How We
Know: An Exploration of the Scientific Process, khususnya Bagian I.
Kriteria
demarkasi itu antara lain : (1) obyektifitas, (2) ada pokok persoalan tertentu
yang menjadi obyek studi (formal dan materiil), (3) memiliki sistematika content dan area of studies, dan (4) terbuka – dalam arti dapat dijelaskan
secara ilmiah, (5) ada metodologi atau disciplined
inquiry, dan (6) memiliki
terminologi-terminologi yang standar. Dalam suatu bangunan keilmuan, logika
rasional dan empiri (pengalaman) yang menyangkut fakta, memegang peranan
penting. Dapat dipahami bila definisi suatu disiplin ilmu selalu dimulai dengan
“a systematic body of knowledge…”
Pengertian
‘ilmu’ dan ‘pengetahuan’ diatas memang tidak selalu memuaskan, apalagi kalau
menyangkut soal semantik. Edwards (1967, Vol. 4:345) misalnya mendefinisikan knowledge sebagai “justified true belief”. Apa
yang kita yakini benar saja, tanpa bisa dijustifikasikan, tidak bisa disebut knowledge.
Dengan
menggunakan penjelasan ini timbul komplikasi dalam menark garis demarkasi
antara apa yang layak disebut pengetahuan dan apa yang bukan. Kalau penjelasan
itu diterima, maka timbul pertanyaan : bagaimana kita menjustifikasikan
kebenaran keyakinan kita? Haruskah setiap keyakinan dijustifikasikan dulu
sebelum layak disebut pengetahua? Apakah pula filsafat yang mengandalkan hasil
pemikiran rasional dan spekulatif dapat disebut pengetahuan? Dapatkah
dibenarkan justifikasi yang semata-mata didasarkan atas hasil renungan-renungan
filosofis tanpa dihadapkan pada fakta empirik?
Penulis berpendirian
bahwa apa yang disebut dengan ‘knowledge’
dalam versi ensiklopedia filsafat itu menunjuk pada pengertian ‘ilmu’ seperti
dikemukakan pada paragraf keenam di atas, sejauh ‘justified true belief’ sudah memenuhi standar-standar ilmiah.
Bagaimanapun ilmu dan pengetahuan didefinisikan, dalam konteks epistemologi,
persoalan mendasar yang dihadapi adalah soal kebenaran (truth).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar