Minggu, 09 Oktober 2016

Kebenaran sebagai Masalah Filsafat



KEBENARAN ILMIAH

Kebenaran (Ilmiah) sebagai Masalah Filsafat
            Pemikir Jerman, Immanuel Kant, menyederhanakan pokok persoalan filsafat kedalam empat pertanyaan utama, yaitu : (1) apa yang dapat saya harapkan (What may I hope)?; (2) apa yang dapat saya ketahui (what can I know)?; (3) apa yang seyogyanya saya lakukan (what should I do)?; dan (4) apa/siapakah manusia itu (what is man)? Pertanyaan pertama menyangkut metafisika, yang kedua epistemologi, yang ketiga etika dan estetika, dan yang keempat filsafat antropologi.
            Risalah ini berkenaan dengan pertanyaan kedua, yaitu epistemologi (episteme = pengetahuan). Secara harfiah epistemologi biasanya diartikan sebagai “filsafat ilmu”, “filsafat pengetahuan”, “filsafat ilmu pengetahuan”, atau lebih tepat, “filsafat tentang ilmu pengetahuan”. Didalamnya tercakup teori tentang pengetahuan (theoris of knowledge). Pokok persoalannya adalah masalah benar dan salah (true-not true), dan bukan baik-buruk atau indah jelek seperti dibahas etika dan estetika, bukan pula soal tujuan hidup seperti dikupas dalam ontologi.
            Mempermasalahkan “benar-salah” berarti mempertanyakan tiga hal : (1) apakah sumber pengetahuan itu?; (2) apakah hakikat pengetahuan itu?; dan (3) bagaimana validitas pengetahuan itu dan bagaimana mengujinya?
            Terhadap pertanyaan ketiga diatas, banyak aliran filsafat mengemukakan pandangan yang berbeda-beda. Nama-nama aliran filsafat itu sangat beragam, tergantung cara mengklasifikasikannya. Misalnya secara acak dapat disebut empirisme, rasionalisme, idealisme, materialisme, pragmatisme, realisme, positivisme, eksistensialisme, skeptisisme, emergentisme, dan banyak lagi yang masing-masing saling bersinggunngan. Beragam aliran filsafat (ilmu/pengetahuan) menunjukkan bahwa cara para pemikir dalam memahami sumber, hakikat, dan kesahihan pengetahuan tergantung pada aliran yang digunakannya.
            Sampai disini, istilah “pengetahuan” (knowledge) digunakan, dan buku “ilmu” (science). Sebenarnya sulit untuk mencari padanan kata yang tepat dalam bahasa inggris untuk kata “ilmu”, tanpa memiliki konotasi yang khusus. Science misalnya kerap kali rancu pengertiannya dalam bahasa Indonesia karena konotasinya seringkali hanya menunjuk pada natural science termasuk juga social science. Namun untuk praktisnya, ‘ilmu’ disini mengacu pada pengertian science.
            “Ilmu” dan “pengetahuan” sesungguhnya memiliki arti yang agak berbeda. Secara singkat dapat dikatakan bahwa  ilmu dan pengetahuan yang telah memiliki sistematika tertentu, atau pengetahuan yang memiliki ciri-ciri khas. Karena itu, ilmu adalah spesies dari genus yang disebut pengetahuan. Bila definisi ini diterima (karena ada definisi lain yang berbeda dengan definisi ini, misalnya dari Aristoteles dan  Peurseun), maka semua ilmu pastilah terdiri dari ataus pengetahuan-pengetahuan, tetapi tidak semua pengetauan adalah ilmu.
            Ilmu memiliki ciri-ciri dan stadar-standar tertentu sebagai hasil konsesnsus para ilmuan. Ada semacam “criteria of demarcation” (meminjam istilah Karl Popper) antara pengetahuan yang (telah) berstatus ilmu pengetahuan dengan pengetahuan yang semata-mata hanya pengetahuan seperti akal sehat (common sense). Contoh-contoh pengetahuan yang didasarkan pada akal sehat misalnya dikemukakan oleh Goldstein & Goldstein (1980) dalam bukunya, How We Know: An Exploration of the Scientific Process, khususnya Bagian I.
            Kriteria demarkasi itu antara lain : (1) obyektifitas, (2) ada pokok persoalan tertentu yang menjadi obyek studi (formal dan materiil), (3) memiliki sistematika content dan area of studies, dan (4) terbuka – dalam arti dapat dijelaskan secara ilmiah, (5) ada metodologi atau disciplined inquiry,  dan (6) memiliki terminologi-terminologi yang standar. Dalam suatu bangunan keilmuan, logika rasional dan empiri (pengalaman) yang menyangkut fakta, memegang peranan penting. Dapat dipahami bila definisi suatu disiplin ilmu selalu dimulai dengan “a systematic body of knowledge…”
            Pengertian ‘ilmu’ dan ‘pengetahuan’ diatas memang tidak selalu memuaskan, apalagi kalau menyangkut soal semantik. Edwards (1967, Vol. 4:345) misalnya mendefinisikan knowledge sebagai  “justified true belief”. Apa yang kita yakini benar saja, tanpa bisa dijustifikasikan, tidak bisa disebut knowledge.
            Dengan menggunakan penjelasan ini timbul komplikasi dalam menark garis demarkasi antara apa yang layak disebut pengetahuan dan apa yang bukan. Kalau penjelasan itu diterima, maka timbul pertanyaan : bagaimana kita menjustifikasikan kebenaran keyakinan kita? Haruskah setiap keyakinan dijustifikasikan dulu sebelum layak disebut pengetahua? Apakah pula filsafat yang mengandalkan hasil pemikiran rasional dan spekulatif dapat disebut pengetahuan? Dapatkah dibenarkan justifikasi yang semata-mata didasarkan atas hasil renungan-renungan filosofis tanpa dihadapkan pada fakta empirik?
            Penulis berpendirian bahwa apa yang disebut dengan ‘knowledge’ dalam versi ensiklopedia filsafat itu menunjuk pada pengertian ‘ilmu’ seperti dikemukakan pada paragraf keenam di atas, sejauh ‘justified true belief’ sudah memenuhi standar-standar ilmiah. Bagaimanapun ilmu dan pengetahuan didefinisikan, dalam konteks epistemologi, persoalan mendasar yang dihadapi adalah soal kebenaran (truth).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar