Senin, 03 Oktober 2016

Permasalahan Gender




Permasalahan gender merupakan masalah yang tidak ada habisnya. Banyak isu-isu yang muncul kemudian tertuju pada kesetaraan gender yang dialami antara laki-laki dan perempuan. Padahal sebetulnya kesetaraan gender ini bukan melulu pada perempuan dan laki-laki namun, kesetaraan gender ini juga sebenarnya terjadi pada kelompok-kelompok rentan atau kelompok minoritas.
“Kemunculaan persoalan gender ini muncul ketika pada abad ke-19 di Prancis, di mana ketika itu upah yang didapat oleh laki dan perempuan saat bekerja sangat berbeda. Hal inilah yang kemudian memunculkan ketidakadilan antara perempuan dan laki-laki. Selain itu faktor biologis ini juga dijadikan sebagai titik tolak awal kemunculan gender
Pada dasarnya semua orang sepakat bahwa perempuan dan laki – laki berbeda. Namun, gender bukanlah jenis kelamin laki – laki dan perempuan sebagai pemberian Tuhan. Gender lebih ditekankan pada perbedaan peranan dan fungsi yang ada dan dibuat oleh masyarakat. Oleh karena itu, gender penting di pahami dan dianalisa untuk melihat apakah perbedaan tersebut menimbulkan diskriminasi dalam artian perbedaan yang membawa kerugian dan penderitaan terhadap pihak perempuan.        

Persoalan gender akan menjadi isu yang sangat sensitif ketika isu itu dikaitkan dengan pesoalan agama. Perlu adanya kebijakan dalam memikirkan isu gender ini, sebenarnya isu gender ini hanya terkait dengan kesetaraan yang dialami oleh laki-laki dan perempuan. “Kesetaraan itu, adanya kemudahan akses yang diberikan oleh laki-laki dan perempuan untuk memajukan dirinya. Hal ini penting karena dengan diberikan akses yang mudah maka perempuan memiliki tempat yang sama untuk bisa meningkatkan potensi yang ada pada dirinya. Ini menunjukkan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki ruang yang sama untuk bisa berpartisipasi,“          


Di Indonesia, isu kesetaraan gender akhir – akhir ini menjadi isu yang tidak ada habisnya dan masih berusaha terus di perjuangkan baik di tingkat eksekutif maupun legislatif. Hal tersebut seperti yang diutarakan oleh Imam Prasodjo dalam Kompas 29 Juli 2010, menyatakan bahwa permasalahan perspektif gender yang paling substantif juga terlihat di eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Permasalahan tersebut mencakup substantif pemahaman tentang kebijakan berspektif gender itu sendiri. Peningkatan kesadaran dan pemahaman itu, harus dibarengi dengan adanya keterwakilan perempuan – perempuan dalam lembaga – lembaga negara, terutama lembaga pembuat kebijakan. Mengingat perempuan masih saja mengalami ketimpangan di bidang pendidikan, sosial, politik, dan ekonomi hanya karena perkembangan pengetahuan masyarakat Indonesia tentang gender itu sendiri masih sangat lambat.
Peran gender berubah dari waktu ke waktu. Berbeda antara satu budaya dengan budaya lain. Dipengaruhi oleh kelas sosial, usia dan latarv belakang etnis. Berarti masalah gender selalu berkaitan denganv konstruksi sistem sosial budaya dalam masyarakat.
Pemberian Label (Stereotyping) Pemberian label berdasarkan jenis kelamin dapat merugikan karena menghalangi realisasi dari potensi yang dimilikinya.  Dengan menerima stereotype seperti ini, maka kita telah membatasi ruang gerak.  Laki-laki akan merasa canggung apabila mengerjakan pekerjaan feminis, cnth. Menganti popok bayi, masak, dll. o Perempuan merasa tak mampu melakukan pekerjaan maskulin, cth. Ganti atap yg rusak, perbaiki mesin mobil, anggkat semen, dll.
Faktor penghambat kesetaraan gender adalah, diskriminasi perempuan, eksploitasi perempuan, subordinasi (suatu penilaian atau anggapan bahwa suatu peran yang dilakukan oleh satu jenis kelamin lebih rendah dari yang lain), kekerasan terhadap perempuan serta beban tugas yang berat dan panjang.

a. Konsep gender dalam kehidupan masyarakat        

Lingkungan keluarga                         

Posisi perempuan dalam keluarga pada umumnya dan di masyarakat Indonesia pada khususnya, masihlah berada di bawah laki – laki. Seperti kasus istri yang bekerja di luar rumah harus mendapat persetujuan dari suami, namun pada umumnya meskipun istri bekerja, haruslah tidak boleh memiliki penghasilan dan posisi lebih tinggi dari suaminya. Meskipun perempuan sudah bekerja di luar rumah, mereka juga harus memperhitungkan segala kegiatan yang ada di rumah, mulai dari memasak hingga mengurus anak.  

Lingkungan pendidikan         

Di bidang pendidikan, perempuan menjadi pilihan terakhir untuk mendapatkan akses. Oleh karena itu, tingkat buta huruf tertinggi di Indonesia juga masih didominasi oleh kaum perempuan

Lingkungan Pekerjaan
Perempuan yang memiliki akses pendidikan yang tinggi pada umumnya bisa mendapatkan pekerjaan yang layak. namun, pemilihan pekerjaan tersebut masih berbasis gender. Perempuan dianggap kaum yang lemah, pasif dan dependen. Pekerjaan seputar bidang pelayanan jasa seperti bidang administrasi, perawat, atau pelayan toko dan pekerjaan dengan sedikit ketrampilan seperti pegawai administrasi dan hanya sedikit saja yang menduduki jabatan manajer atau pengambil keputusan

b.Gender dan kesehatan di Indonesia           

GBHN membuat permasalahan gender semakin pelik, dalam penjabarannya intinya menyebutkan bahwa perempuan indonesia berfungsi sebagai istri pengatur rumah tangga, sebagai tenaga kerja di segala bidang dan sebagai pendidik pada bagi anak – anaknya. Konsep tersebut semakin membingungkan perempuan di Indonesia untuk memilih antara terjun dalam kegiatan di luar rumah dan menjadi istri sertai bu yang baik (Retno Suhapti, 1995).

Konsep ini sangat berat bagi perempuan, dikarenakan proporsional beban tersebut mampu membuat perempuan retan akan stress. Selain itu, permasalahan ada pada keputusan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Contohnya pada kasus ibu hamil yang menunggu keputusan suaminya untuk pergi berobat ke dokter. Pada akhirnya, ibu hamil terlambat mendapatkan penanganan yang dapat berakibat fatal bagi kesehatan janin dan ibu itu sendiri. Hal tersebut nampak permasalah gender di Indonesia mengakar sejak dahulu yang diawali dengan kebijakan pemerintah yang berlaku saat itu.
Berbicara mengenai wacana gender dalam pendidikan tidak lepas dari faktor lainnya seperti organisasi keluarga dan pekerjaan, surplus ekonomi, kecanggihan tekhnologi, kepadatan penduduk dan lainnya. Karna kesemuanya adalah variabel yang saling mempengaruhi banyak hal tentang gender begitupun didalam fenomena pendidikan.
Adanya pendidikan tidak saja melihat kepda pendidikan formal, namun harus dimulai dengan bagaimana pendidaikan itu dimulai. Tentu saja kita bisa melihat feanomena proses pendidikan dalam keluarga dimana wanita sangat berperan sebagai produsen utama fungsi-fungsi pokok keluarga.
Dalam keluarga perempuan secara tidak langsung dididik menjadi seorang yang mengutamakan perasaan. Hal itu lantas menjadi pola turun temurun sebagai hal yang dipandang alamiah maka timbulah fenomena dalam pendidikan umumnya perempuan memilih studinya yang mengutamakan perasaan dan kecerdsasan emosional. Contoh banyak perempuan lebih memilih studi tentang keperawatan, pramugari, entertainer, psikolog, guru, dan lain lain.
Dibandingkan dengan fenomena yang ada dimasa lalu gender sudah banyak memperoleh kesempatan yang sama dengan laki-laki. Dulu banyak fenomena dimana orang tua lebih mengutamakan pendidikan untuk anak laki-lakinya dengan berbagai alasan, tapi tidak dipungkiri mungkin saat ini masih bisa terjadi.

Berdasarkan permasalahan yang terjadi, sudah waktunya perempuan dan laki – laki di Indonesia sama – sama berfungsi sebagai pengatur rumaha tangga pada khususnya dan pengatur beberapa kebijakan negara pada umumnya. Dengan tercapainya kondisi ini, dapat terjalin dengan harmonis bagi perempuan dan laki – laki di Indonesia. Perempuan juga harus mendapatkan kesempatan yang sama memilih dan meraih posisi yang sejajar dengan laki laki dimasyarakat.

Untuk mencapai kesetaraan gender itu, perlu adanya dukungan yang lebih sistematis bagi perempuan dalam mengejar karier untuk mencapai keinginan yang setara dengan pria. Perempuan bisa saja duduk di kursi pemerintahan berperan mengurusi masalah perpolitikan negara, akan tetapi tidak meninggalkan perannya sebagai ibu rumah tangga yang menjadi penompang bagi keluarganya.  Perlu adanya perubahan norma-norma sosial di masyarakatØ tentang peranan wanita, sehingga berguna untuk mengurangi penilaian masyarakat yang negatif di masyarakat, dan nantinya perempuan bisa meningkatkan aspirasi serta pencapaian perempuan di bidang pendidikan, kesehatan, pekerjaan, politik, pembangunan seperti di negara-negara berkembang lainnya.  Perlu adanya undang-undang mengenai perempuan ataupunØ tentang kesetaran gender sendiri. Kenapa hal itu di butuhkan? Karena untuk mengurangi adanya tindak kekerasan dalam rumah tangga terhadap kaum perempuan dan diskriminasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar